Kalau dari 11 lagu ini ada satu yang bikin orang mikir, atau merasa ‘gue banget’, itu udah cukup buat kami.
Setelah lama menggeliat di skena musik bawah tanah Jakarta, Defodio akhirnya melepas album debut penuh berjudul Permanent Ear Damage.
Album ini adalah manifestasi kemarahan dan keresahan dalam 11 trek yang tak segan-segan menghantam telinga dan hati pendengarnya.
“Ini bukan cuma soal suara keras,” kata sang vokalis, Andi “Bedul” Fadhillah. “Album ini bicara tentang kejujuran—tentang jadi marah, jadi jujur, dan tetap berdiri meski dunia hancur di sekeliling lo.”
Lewat Permanent Ear Damage, Defodio menawarkan lebih dari sekadar musik keras. Album ini adalah teriakan kolektif tentang realitas sosial, tekanan hidup urban, dan kejenuhan akan ketidakadilan.
Single utama “Truth Slaps” langsung menunjukkan karakter mereka: riff tajam, groove berat, dan lirik yang menggigit.
Proses penulisan album berlangsung secara organik—berawal dari jamming liar yang kemudian dikembangkan menjadi komposisi penuh. Banyak lagu lahir dari momen-momen emosi mentah, tanpa terlalu banyak penyaringan.
Pengaruh kuat dari band seperti Rage Against the Machine, Pantera, dan Clutch terasa kental, namun Defodio tetap tampil dengan identitas sonik mereka sendiri: mentah, bertenaga, dan penuh lapisan kejutan.
Menariknya, mereka menyisipkan harmonika liar yang dimainkan oleh musisi tamu Seciorio dalam dua lagu: “Pay the Price” dan “Leave It”. Kombinasi yang tak biasa untuk genre ini, namun justru memperkuat ciri khas album yang tak takut eksplorasi.
Dalam lagu “Selfless”, yang disebut sebagai trek paling personal dalam album ini, Defodio membuka sisi lain: tentang kekosongan, tentang kelelahan batin yang seperti tak ada ujung, tentang makna hidup yang dipertanyakan dalam sunyi.
Album ini diproduseri oleh Joseph Agustino, dengan lirik ditulis langsung oleh Bedul.
Proses rekaman berlangsung di C-PRO Music Studio bersama Yudhistira Andhika, sedangkan mixing-mastering dipegang oleh Dino Kristianto.
Sentuhan akhir diberikan oleh Gaharaiden Soetansyah sebagai editor, sementara visual album ditangani oleh tks.lowskill dan sesi foto oleh Arnoldus Janssen Petra.
Sebagai bagian dari peluncuran album, Defodio memulai tur mini di beberapa kota besar di Indonesia, serta merilis merchandise eksklusif berupa kaos “Permanent Ear Damage” yang hanya dicetak terbatas.
“Kalau dari 11 lagu ini ada satu yang bikin orang mikir, atau merasa ‘gue banget’, itu udah cukup buat kami,” papar Geoffrey, sang bassis.
Defodio bukan band karbitan. Mereka lahir dari pertemanan, tumpahan ide di tongkrongan, dan semangat kolektif yang meledak jadi musik.
Permanent Ear Damage adalah bukti bahwa suara perlawanan masih punya tempat—dan tetap bisa terdengar, sekeras apapun dunia mencoba menenggelamkannya.