Institut Musisi Jalanan (IMJ) mengambil langkah berani dengan mencoba menata penggunaan musik di ruang publik dan bahkan berniat membayar royalti lewat skema dua persen.

Namun menurut Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), niat baik itu sebenarnya tidak perlu—musisi jalanan tidak termasuk pihak yang wajib membayar royalti.

“Yang wajib mengikuti regulasi adalah pengelola kawasannya, bukan musisi jalanan atau IMJ,” jelas Marcell Siahaan, Ketua LMKN Bidang Pemilik Hak Terkait.

Meski begitu, Marcell mengapresiasi komitmen IMJ. Ia menyebut kesadaran mereka menghormati hak cipta patut ditiru.

IMJ sendiri bekerja sama dengan pengelola ruang publik seperti bandara, KAI, dan MRT untuk menata penampilan musisi jalanan—yang sebagian besar merupakan musisi difabel. Uniknya, mereka tidak dibayar pengelola, melainkan mengandalkan kotak sawer dan QRIS pengunjung.

Marcell menegaskan, musisi jalanan bukan pelaku usaha komersial. Karena itu, LMKN tidak bisa memperlakukan mereka sama dengan pelaku usaha di sebelas sektor yang wajib bayar royalti, seperti hotel, restoran, tempat hiburan, radio, televisi, transportasi umum, pertokoan, dan penyelenggara konser.

“Kami menghargai niat baik para musisi jalanan yang ingin membayar royalti, tapi secara regulasi mereka tidak termasuk pengguna komersial,” tambahnya.

Ia juga menyebut musisi jalanan sebagai kelompok marjinal yang justru perlu dilindungi dari beban tambahan seperti kewajiban royalti. IMJ pun awalnya sekadar meminta kepastian regulasi, dan LMKN menegaskan niat baik mereka cukup diapresiasi.

“Langkah IMJ harusnya jadi cermin bagi para pengguna musik agar lebih menghargai hak cipta dan karya pencipta lagu Indonesia,” tutup Marcell.

Back To Top
copyright © dapurletter 2025