Seringai Mengadili Ibukota dengan Distorsikeras

Di tengah hiruk-pikuknya Jakarta, lahirlah sebuah ledakan suara dari lorong-lorong underground: Seringai. Dibentuk tahun 2002 oleh vokalis legendaris Arian13 setelah kepergiannya dari Puppen, band ini menjadi manifestasi kebisingan penuh semangat dan amarah sosial.

Bersama gitaris Ricky Siahaan, drummer Edy Khemod, dan kemudian bassist Sammy Bramantyo, Seringai membawa semangat keras kepala musik metal Indonesia ke permukaan.

Awalnya, Arian dan Ricky sempat mengeksplorasi warna musik alternatif lewat band singkat bernama Derai. Namun, gairah mereka sesungguhnya tertambat pada distorsi berat dan riff cadas ala Black Sabbath dan semangat punk dari Black Flag.

Maka, terbentuklah Seringai band yang dikenal bukan hanya karena musik kerasnya, tetapi juga karena sikap teguhnya terhadap nilai-nilai independen, anti-kemapanan, dan suara lantang terhadap isu sosial.

Debut mereka dimulai dengan EP High Octane Rock (2004), disusul album penuh pertama Serigala Militia (2007) yang memperkuat posisi mereka sebagai ikon metal nasional. Puncaknya, mereka merilis film dokumenter Generasi Menolak Tua (2010), membuka tabir perjuangan band yang tidak pernah takut tua asalkan tetap menggigit.

Album kedua Taring (2012) dan ketiga Seperti Api (2018) menunjukkan evolusi musikal yang matang campuran crossover thrash, stoner rock, hingga hardcore punk, semuanya dikemas dalam gaya Seringai yang tanpa kompromi.

Bahkan Metallica pun tak ragu memilih Seringai sebagai pembuka konser mereka di Jakarta pada 2013.

Namun Seringai bukan hanya soal suara. Mereka adalah simbol perlawanan, semangat DIY (do it yourself), dan eksistensi keras kepala yang tidak silau akan industri musik arus utama.

Dengan lirik tajam, konser yang brutal dan energi membara di setiap penampilan, Seringai telah menjelma menjadi legenda hidup yang terus menyalakan api dalam dada para penggemarnya Serigala Militia.

Berita terkait