Akadama & The Yoyo Connection feat Gigih Prayogo Rilis ‘Pterodactyl’ dan ‘Alerta’, Upaya Kecil Melawan Lupa

Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa. Kalimat Milan Kundera dalam novel “Kitab Lupa dan Gelak Tawa” itu mengakar dalam kepala saya. Novel itu menjadi bahan bakar dalam meramu lalu merilis karya sejak pandemi.

Dari yang mendapat sematan gelap dan muram macam “Kundera” bersama Portelea, ‘Bungkam’ bareng musisi Hip Hop Uncle T, Riski Farid (JB Blues, Moamarx Black Wind), dan Aulia Rachman (Milestone), ‘Ahasveros’ dengan Dhandy Satria (The Melting Minds, BUKTU, Summerchild Trio), ‘Let Me Feel’ featuring Tyagasvara, sampai lagu cengeng seperti ‘Salah Move On’ feat Richardus Ardita (Majelis Lidah Berduri).

Novel berplot bebas dengan tebal kurang lebih 400 halaman itu juga jadi bahan bakar merilis dua lagu berjudul ‘Pterodactyl’ dan ‘Alerta’. ‘Pterodactyl’ rilis lebih dulu, 23 Maret 2024 lalu ‘Alerta’ menyusul dalam 30 hari ke dapan. Dua lagu itu saya garap bersama Catur Kurniawan (Black Stocking) yang dengan semeleh rela saya sebut The Yoyo Connection dan Gigih Prayogo (Koen, Julia). Keduanya musisi Jogja yang sudah berkarier lebih dari 20 tahun.

Buat saya, persoalan besar manusia selain lapar adalah lupa. Sebab ingatan selalu memengaruhi sekaligus membentuk mental seseorang. Dalam skala yang lebih besar, ingatan kolektif akan membangun generasi melihat dan memperlakukan zaman. Namun, hari ini kita dipaksa lupa lewat ukuran, nilai, dan moral.

Yang terus dikedepankan adalah popularitas peristiwa, bukan makna. Yang kita ingat adalah penculikan tujuh jenderal, tetapi melupakan jutaan orang tak bersalah jadi korban pembantaian, pengasingan, dan penjara tanpa proses hukum. Yang kita ingat dari sepak bola hanya catatan statistik, bukan tragedi dan ratusan nyawa yang perlahan menyayup atas nama nasionalisme.

Yang kita ingat dari demonstrasi adalah kekacauan, bukan motif. Yang diingat dari penculikan dan pembunuhan adalah vonis dalam selembar surat dengan deretan eufemis, bukan nama dan keganjilan lainnya lalu diakhiri impunitas sempurna. Pada akhirnya kita dipasa menerima pasal bahwa move on adalah perkara mengampuni masa lalu sekaligus menatap masa depan.

‘Pterodactyl’ berisi potongan beberapa peristiwa politik dan sejumlah kasus intoleran di Indonesia. Dari keganjilan penangkapan Hariman Siregar, Sjahrir, dan Aini Chalid yang dituduh biang kerusuhan Malari 1974, pembakaran kampung, pengusiran penduduk desa karena berbeda aliran agama, wajah politik Orde Baru (Orba) dalam mendominasi perolehan suara Pemilihan Umum, hingga propaganda demi propaganda yang dibabar di ruang-ruang populer berdalih demokrasi tetapi menindas yang tidak sepaham.

‘Alerta’ yang akan rilis April 2024 meluluk apa yang terjadi hari ini. Tentang demonstran dan perpindahan ruang bicara, tragedi Kanjuruhan, ancaman Dwi Fungsi ABRI, dan orang-orang yang beralihrupa menjadi penindas.

Harapannya, agar-minimal-lingkar terdekat saya tidak lupa bahwa sebangga-bangganya menjadi Indonesia kita harus menerima fakta sekaligus mengakui bawah republik ini dibangun di atas tangis para ibu yang kehilangan dan darah ‘pemberontak’ yang makamnya entah. Di atas impunitas, pengampunan, dan pemakluman yang tidak berpihak pada penyintas, yang sampai hari ini terus meminta keadilan di depan istana negara. Buat saya, kita tidak boleh lupa agar ahli waris tak lupa lalu leka. Agar anak-anak kita tidak menjadi manusia rakus yang keropos moralnya saat berhadapan dengan realita ketika dewasa nanti.

Sesederhana itu saja.

Lirik ‘Pterodactyl’ menimpa aransemen musik yang diperas Catur Kurniawan dari Trip Hop anak-anak Bristol. Gigih Paroyogo mengisi part gitar dengan hati-hati agar aransemen tidak terlalu sesak. Catur Kurniawan lalu menata dan menyeleraskan suara ‘Pterodactyl’. Saya juga menyeret Jandon Banyu Bening untuk menggarap artwork berobjek tengkorak dengan banyak elemen yang merepresentasikan sudut pandangnya terhadap tema dan motif musik.

‘Alerta’ saya komposisi sendiri, sedikit industrial dengan rap yang banyak mendapat pengaruh para raper idola saya sejak kecil seperti Xaqhala, Doyz, dan Morgue Vanguard. Aransemen musik direspon Gigih Prayogo lantas dimixing Catur Kurniawan. Artworknya digarap Jiwe, perupa sekaligus vokalis band The Kick. Berkolaborasi dengan Jandon dan Jiwe memang sudah saya idamkan sejak lama.

Dua lagu itu sudah saya perdengarkan bebas dalam sekian sesi dengar. Banyak respon dan kritik datang. Mawa Kresna misalnya. Jurnalis Project Multatuli dan IDN itu bilang mendengarkan ‘Pterodactyl’ kombinasi musik Rage Against The Machine (RATM) dan Homicide. “Cukup relate dengan keadaan sekarang apalagi negara bakal punya presiden dari militer lagi,” kata Kresna.

Muhidin M.Dahlan aka Gusmuh penulis, novelis, sekaligus pengepul arsip mengamini Kresna lalu menambahkan bahwa dua lagu itu membawa ingatannya pada gerakan Gejayan Memanggil. “Orasi jalanan seperti ini harus selalu ada,” kata Gusmuh.