Inovasi hebat teknologi informasi dan komunikasi saat ini telah memasuki tahap yang tidak hanya sekadar dapat mendistribusikan dan mensirkulasikan teks-teks informasi dalam jumlah gigantik, jangkauan tanpa sekat, dan kecepatan luar biasa.
MODEL bahasa raya, artificial intelligence (AI), dapat menumbuhkan data teks baru dengan memproses data teks yang ada di seluruh dunia dan melalui mesin deep learning dapat ’’memahaminya’’.
Dengan kemampuan memproduksi dan memahami teks sehingga dapat menyimulasikan karakteristik kebahasaan dan logika naratif material teks manusia yang tersedia, membuat AI dapat menghasilkan teks yang sesuai dengan ekspresi manusia dan memunculkan pola kebahasaan yang tepat. Berdasar korpus data teks yang dilatihkan sebelumnya, mesin deep learning tak hanya dapat melayani permintaan jenis teks informatif, namun juga dapat memberikan hasil analisis teks dan penciptaan teks kreatif baru yang bersifat formulaik.
Kemampuan berbahasa AI yang mendasarkan pada logika berbahasa dalam rupa pola sekuensial data teks yang dilatihkan untuk mengenali bentuk formulaik guna menghasilkan suatu kemungkinan penumbuhan teks baru memang belum dapat disebut mengimitasi kemampuan kreatif berbahasa manusia secara sempurna. Namun, kapasitas penyimpanan memorinya yang gigantik, ketiadaan personalitas, dan kemampuannya memproses data teks gigantik dengan cepat untuk mengidentifikasi pola struktural dan mensintesa bentuk-bentuk formulaiknya, memungkinkan AI dapat melakukan tugas-tugas analitis dengan relatif lebih tepat dan akurat.
Contoh pemanfaatan kemampuan analisis AI yang diterapkan pada lapangan sastra adalah teori Pembacaan Jauh (Distant Reading), Franco Moretti, yang mengeksplorasi induksi data melalui penginputan teks sastra atau sejumlah korpus sastra untuk analisis komputasional. Hasil analisis komputasional yang berupa pola formulaik struktur kebahasaan selanjutnya dikomparasikan untuk mengidentifikasi jarak relasional antarkarakter dalam karya sastra (jika objek analisisnya satu karya sastra) atau jarak relasional antar karya sastra untuk menggambarkan peta hubungan antarkarakter atau pemetaan hubungan antar karya sastra. Dalam proses analisis komputasional yang dilakukan AI, subjek manusia peneliti tidak melakukan pembacaan, tapi menginput data teks sastra untuk ’’dibaca’’ oleh mesin pembelajar (learning machine).
Dalam sisi lain, potensi AI untuk terus berkembang dalam mengimitasi kerja-kerja kreatif manusia di masa mendatang telah mendorong tumbuhnya gagasan yang bertolak dari pertanyaan kritis atas asumsi peran sentral manusia dalam kehidupan (anthropocentrism). Barangkali, dalam konteks sastra, ’’Penyair sebagai Mesin’’ merupakan buku berbahasa Indonesia yang paling provokatif dalam menyosialisasikan gagasan anti-antroposentrisme.
Meskipun praktik eksperimentasi dengan metode penulisan jauhnya tidak dimaksudkan untuk mendemonstrasikan kemampuan mesin menulis puisi berdasar teks-teks puisi yang telah ’’diajarkan’’, ia telah memunculkan suatu kategori baru dalam praktik penulisan puisi yang menghubungkan antara manusia dan mesin yang disebutnya ’’rakitan kognitif’’.
Gagasan ’’rakitan kognitif’’ mengimplikasikan posisi yang setara antara manusia dan mesin dalam relasi penumbuhan teks kreatif. Kesetaraan itu harus ditebus dengan mereduksi manusia sebagai entitas yang ’’sama’’ dengan AI lewat penyingkapan arkeologis atas pengetahuan yang dimiliki manusia dan mesin. Pengetahuan manusia dianggap sebagai data-data informasi yang dihimpun melalui pengalaman, sebagaimana data-data informasi AI yang diinput melalui pelatihan berkelanjutan. Penumbuhan atau penulisan teks sastra, oleh karenanya, selalu merupakan satu kemunculan ’’untung-untungan’’ dari banyak kemungkinan munculnya sekian pola struktural kebahasaan dari data-data informasi yang diperoleh melalui pemrosesan pengalaman/pelatihan. Karena itu, apa yang ditumbalkan agar manusia dapat menyerupai AI adalah sensibilitas.
Penumbalan sensibilitas inilah yang mendasari penolakan Martin terhadap estetik yang merupakan jenis pengalaman indrawiah (sensible) khusus –bukan sehari-hari– yang menjadi basis dari problem relasi antara word dan thing yang mengkarakterisasi seni/sastra romantik hingga hari ini. Pencampakan estetik, suatu pengalaman khusus sebagai basis penciptaan sastra, pada akhirnya membawa karya sastra kehilangan spesifitasnya: bukan hanya akan membawa kita pada hapusnya sempadan antara sastra tinggi dan sastra rendahan, pun sekaligus membawa kita pada hapusnya perbedaan antara sastra dan bukan sastra.
Jika hapusnya sempadan antara sastra tinggi dan sastra rendahan, hapusnya perbedaan antara sastra dan bukan sastra, merupakan suatu kondisi untuk demokratisasi sastra yang dipicu oleh badai AI, maka demokratisasi sastra itu ekuivalen dengan tirani anonimitas kolektif. Kesetaraan tidak dapat direduksi pada kesamaan hak belaka. Kesetaraan pertama-tama bukan persoalan hak, tetapi suatu gerak terus-menerus untuk memisahkan kemanusiaan dari hasrat kebinatangan.
Keberadaan teknologi AI diam-diam telah menciptakan badai dalam ekosistem sastra. Apa yang mengintai di masa depan bersama perkembangan AI adalah problem authorship yang dapat berimplikasi pada masalah hak intelektual. Seperti yang diteladankan oleh teori Pembacaan Jauh, barangkali dalam waktu dekat kita akan tiba pada praktik membaca tanpa membaca yang dapat berimbas pada terlikuidasinya praktik kebahasaan sastrawi yang berbasis pada problem relasi word dan thing –mungkin akan digeser menjadi problem relasi antara word dan code.
Keberadaan teknologi AI yang dapat mengambil peran relatif substansial dalam penulisan kreatif juga mendorong munculnya gagasan-gagasan ’’baru’’ guna menciptakan fondasi yang legitimate untuk hubungan setara antara manusia dan AI yang dapat berimplikasi pada hapusnya spesifitas sastra. (+)