Musik adalah bagian dari identitas budaya. Ketika pelaku usaha enggan memberikan apresiasi yang layak kepada pencipta lagu Indonesia
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM menanggapi polemik sejumlah pelaku usaha yang mengancam akan menghentikan pemutaran lagu-lagu Indonesia demi menghindari kewajiban membayar royalti. Menurut DJKI, langkah tersebut justru kontraproduktif bagi ekosistem musik nasional.
“Jika pelaku usaha merasa keberatan, ada alternatif yang sah, seperti memutar karya ciptaan sendiri, menggunakan suara alam (ambience), musik bebas lisensi, atau musik berlisensi Creative Commons yang memperbolehkan penggunaan komersial,” jelas Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, dalam keterangan tertulis pada Senin (28/7/2025).
Agung menekankan, memilih untuk tidak memutar musik bukanlah solusi yang menguntungkan jangka panjang. Ia menyebut tindakan tersebut berisiko melemahkan ekosistem musik lokal serta merugikan pencipta lagu dan pemilik hak cipta.
“Musik adalah bagian dari identitas budaya. Ketika pelaku usaha enggan memberikan apresiasi yang layak kepada pencipta lagu Indonesia, yang dirugikan bukan hanya seniman, tetapi juga konsumen dan iklim kreatif nasional secara keseluruhan,” ujarnya.
Penggunaan Komersial Tetap Wajib Bayar Royalti
Agung menegaskan bahwa setiap pemutaran musik di ruang publik—seperti restoran, kafe, pusat kebugaran, hotel, atau toko—tergolong sebagai penggunaan komersial. Karena itu, pelaku usaha tetap wajib membayar royalti, meskipun sudah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, atau Apple Music.
“Layanan streaming bersifat personal. Begitu musik diperdengarkan di ruang usaha, itu masuk kategori penggunaan komersial dan wajib lisensi tambahan melalui jalur resmi,” tegasnya.
Pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Lagu dan/atau Musik. LMKN menghimpun dan mendistribusikan royalti secara transparan kepada pencipta dan pemilik hak terkait.
Skema Adil dan Dukungan untuk UMKM
Pelaku usaha dapat mendaftarkan usahanya melalui sistem digital LMKN dan membayar royalti sesuai klasifikasi jenis usaha dan luas ruang pemutaran musik. Sistem serupa telah lama berlaku di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Korea Selatan.
DJKI juga memastikan pelaku usaha kecil tidak akan diberlakukan secara seragam. Terdapat mekanisme keringanan, bahkan pembebasan tarif, bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sesuai ukuran ruang, kapasitas pengunjung, serta intensitas penggunaan musik.
“Pelindungan hak cipta bukan semata kewajiban hukum, tapi bentuk penghargaan terhadap kerja keras para pencipta yang menghadirkan nilai tambah dalam pengalaman usaha,” pungkas Agung.