Band ini memang baru, tapi tidak dengan personal di dalamnya. Kelimanya merupakan pemain lama di skena musik Palu.
Konflik hingga saat ini tak pernah surut dan terelakkan. Baik itu yang tak sengaja ataupun disengaja.
Selalu ada yang dirugikan, dan menghasilkan dampak buruk yang panjang.
Salah satunya tentu saja trauma.
Lewat Hardcore, Concubine yang dijalankan oleh Uti (vokal), Dodi (gitar), Ayad (gitar), Cio (bass), dan Iki (drum) melantangkan hal tersebut.
Band yang dibentuk di tahun 2024 ini, sebelumnya sudah merilis 1 lagu berjudul “Dystopia” pada 20 Februari, yang juga masuk ke dalam Sulawesi Hard Compilation (sebuah kompilasi yang dibuat oleh 3 label di Sulawesi).
Band ini memang baru, tapi tidak dengan personal di dalamnya. Kelimanya merupakan pemain lama di skena musik Palu dengan genrenya masing-masing, dan kini menggabungkan apa yang mereka sukai menjadi satu.
“Pada dasarnya setiap personil punya genre favorit masing-masing, dan itu kami coba satukan. Yah jadilah Concubine ini. Hardcore. Dan kenapa harus Hardcore? Karena paling dekat dengan ideologi Punk yah Hardcore.” papar Dodi (gitaris) dalam keterangan tertulisnya.
“Propaganda” adalah single kedua mereka. Lirik yang ada membahas perihal konflik yang pernah terjadi di kota Poso, sebuah Kabupaten di Sulawesi Tengah.
Peristiwa di tahun 2000 yang susah dilupakan oleh siapa saja yang mengalaminya.
Pertikaian antar Agama, yang sejatinya merupakan konflik akibat adanya isu sosial dan politik, serta bagaimana Masyarakat tidak puas terhadap kinerja dari aparat penegak hukum yang ada pada saat itu.
Seperti penggalan lirik “perbedaan yang harusnya menjadi kesatuan dikotori propaganda politisasi identitas.” Sebuah fenomena menjijikan yang dilakukan oleh para elit politik.
“Lirik dibuat sama vokalis kami, Uti. Dia menyampaikan peristiwa yang terjadi pada bulan April tahun 2000 di Poso, Sulawesi Tengah. Mencerminkan situasi konflik itu sendiri yang disebabkan oleh persaingan politik, sistem peradilan yang dipolitisir serta adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Sebenarnya itu kompleks, konflik Poso jauh melampaui sebatas perbedaan agama, karena ada peran struktur sosial masyarakat, perebutan kekuasaan, dan interfensi dari luar yang memperburuk situasi.” Terang Dodi menjelaskan perihal lirik.
Pengerjaan lagu ini sendiri menjadi ajang kolaborasi mereka dengan Fajar Rahmatu, vokalis band Hardcore asal Makassar yang bernama Build Down To Anathema.
Dalam waktu kurang lebih satu tahun, mereka merancang, meramu, dan menyatukan semua ide-ide yang ada.
Dikerjakan di tiga tempat berbeda, di antaranya adalah: B90 Studio untuk proses perekaman drum, HBF Studio untuk gitar dan bass, lalu Effort Lab untuk vokal, mixing dan mastering oleh Ayad dan Jerri.
Tidak banyak perubahan di segi materi dari single pertama, namun ada harapan yang disematkan di dalam single kedua ini.
“Kalo dibilang paling menonjol tidak ada sih. Cuman ada yang beda saja di single kedua ini. Kami menggaet vokalis naturalisasi berdarah asli Palu yang kini memperkuat “Build Down To Anathema” di Makasar. Yaitu Fajar. Karena mungkin dengan mengajaknya, kita bisa punya kesempatan untuk tampil di Selatan (Makassar).” ucap Dodi.
Untuk artwork, pengerjaan sampulnya dibuat oleh illustrator asal Palu yang namanya sudah melanglang di kancah Nasional maupun Internasional, tak lain dan bukan adalah Elan Merdeka.
Single ini sendiri kembali dirilis melalui label asal Palu bernama Deep Hatred From Volo.
Buat kalian yang suka Hardcore dengan sound gitar tight, tempo kencang, dan penuh akan perlawanan, single ini cocok untuk dinikmati di tengah kehidupan yang setiap harinya berbaur dengan konflik.
Dengarkan di Bandcamp.