Mengenal Wayang Sekelik, Produk Akulturasi Budaya Jawa-Lampung

Tidak hanya di Jawa, di Lampung ada juga kesenian wayang yang dinamakan wayang sekelik atau wayang saudara yang muncul tahun 2005 lalu.

Adalah Supriyanto, pria peranakan Jawa-Lampung yang mengembangkan kesenian wayang sekelik. Pria yang memilik gelar adok (adat) Pangeran Nata Wijaya ini bermukim dan lahir di Desa Yukum Jaya, Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah.

Pengembangan seni wayang sekelik ini tak lepas dari latar belakang Supriyanto yang menempuh pendidikan strata dua (S2) di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan jurusan pewayangan pada 2001.

Selain itu, ayah Supriyanto adalah seorang pewarah alias dalang wayang. Hal inilah yang membuat dirinya tertarik mengembangkan wayang di Lampung.

Apalagi dalam budaya lampung, banyak legenda, mitos, dan budaya adat yang ditampilkan dalam sastra tutur warahan. Budaya tersebut bisa ditampilkan secara visual.

Supriyanto bercerita pembentukan wayang sekelik ini sejak 2005. Ini dimulai saat salah seorang punyimbang tokoh adat Tulang Bawang Megou Pak mengadakan diskusi mengenai budaya warahan.

“Budaya warahan sebagai sastra tutur yang selama ini ditampilkan tanpa penggambaran agar diaktualisasikan melalui wayang, guna mempermudah penonton untuk memahami alur cerita,” ujar Supriyanto.

Budaya wayang ini sebenarnya telah ada dan populer di kalangan masyarakat Lampung sejak lampau akibat akulturasi budaya Jawa dan Lampung.

Akan tetapi tidak dikenal luas dengan nama wayang, melainkan dikenal dalam Bahasa Lampung sebagai ‘lineu’ atau bisa diartikan sebagai bayangan.

Jadi, orang Lampung sudah mengerti wayang melalui lineu sebuah cerita bisa digambarkan melalui bayangan. Tapi, visualisasi yang digunakan saat itu masih sangat sederhana, tidak serumit wayang saat ini.

Masyarakat dalam perkembangannya saat ini tidak memahami lineu, namun lebih paham dengan kata wayang.

Secara visual tidak ada perbedaan antara wayang sekelik dengan wayang Jawa. Tapi, bila dicermati lebih dalam ada sejumlah perbedaan.

Contohnya, ornamen gunungan dalam wayang sekelik menyimbolkan budaya Lampung. Lalu, ada Siger, Siwo Migo atau sembilan marga, serta adanya ornamen pucuk rebung dalam detail wayang.

Wayang sekelik juga memiliki sinden layaknya pementasan wayang Jawa, dimana saat pementasan akan membawakan lagu sesuai adegan seperti begurau (humor), dan panggeh-ringgeh.

“Sinden ada biasanya yang menyanyi pria dan wanita. Lalu kami pun melakukan eksplorasi mengenai tokoh-tokoh saat membuat wayang. Misalkan tokohnya berwatak tempramen maka bentuknya akan berbeda dengan bentuk tokoh protagonis,” tambah Supriyanto.

Sedangkan untuk tabuhan pengiring yang dikenal sebagai Talo Balak cukup berbeda dengan iringan wayang Jawa yang menggunakan gamelan.

Dengan berbagai jenis tabuhan sesuai lagu meliputi tabuh rajo menggalo, tabuh layang kasiwan, dan tabuh alau-alau semua dimainkan tergantung kondisi serta disesuaikan dengan adegan. Seperti saat adegan sedih akan memakai tabuhan sanak miwang sebagai pengiring.

Salah satu sastra lisan Lampung yang sering digunakan sebagai topik menampilkan wayang sekelik adalah cerita tentang terbentuknya Kampung Gunung Sugih.

Dalam cerita tersebut menggambarkan adanya wilayah Lampung Tengah dahulu kala sebelum bernama Gunung Sugih, yang diberi nama Pulau Apus.

Dalam cerita tersebut ada dua lakon utama yaitu Patik Guling Sekaro dan Marskal Sigalang-galang yang berasal dari Sumatera Barat serta Sumatera Utara.

Diceritakan kedua lakon utama tersebut, setelah melalui perjalanan panjang menyusuri Bukit Barisan sampailah di Pulau Apus untuk membuka lahan pemukiman.

Ternyata keduanya bisa menghentikan serangan bajak laut yang ingin merompak seluruh harta masyarakat sekitar, hingga di daerah Seputih Surabaya.

Keberhasilan mereka dalam mengusir perompak akhirnya mendapatkan apresiasi dari pemangku adat atau punyimbang adok.

Kedua orang tersebut diperbolehkan oleh punyimbang untuk tinggal di Pulau Apus sekaligus melegalkan wilayah tersebut sebagai wilayah pemukiman bagi keduanya melalui adat ngebaten anekh, sehingga daerah itu diberi nama Gunung Sugih.

Dari penyampaian sastra lisan tersebut, kemudian menjadi lakon dalam wayang sekelik. Saat ini mulai berkembang berbagai pementasan yang dilakukan berlandaskan dari cerita-cerita daerah Lampung guna menarik minat masyarakat untuk menyaksikan serta memahami kisah asli Lampung.

Menurut pewarah (dalang) kondang asal Lampung Tengah ini, minat masyarakat untuk menonton wayang sekelik semakin meningkat dengan banyaknya undangan pementasan dari berbagai daerah.

Namun, pihaknya masih belum berkeinginan untuk mengubah nama wayang yang identik dengan budaya Jawa itu dengan kata lineu yang lebih kental dengan budaya Lampung.

Kata lineu sekelik telah coba dimasukkan dalam ringget atau puisi berbahasa Lampung, seperti dengan mengucapkan kalimat “Ejau Linau Sekelik wayang Lappung” atau yang dapat diartikan “Inilah wayangnya orang Lampung, wayang persaudaraan” kalimat ini dilafalkan sebagai kalimat pengenalan akan Linau Sekelik dalam setiap pertunjukan.

“Memang agak sulit untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan penonton karena kata lineu sekelik ini kurang familiar. Tetapi saat ini sudah mulai sedikit demi sedikit diperkenalkan,” ujar Supriyanto.

Selain pengembangan dan pengenalan tentang wayang sekelik, kini juga telah disiapkan regenerasi pewarah atau dalang wayang sekelik melalui pelatihan di sanggar, dan kini telah ada dua orang yang belajar menjadi pewarah.

Leave a Comment