Hendra Ginting Keluarkan Album “ENDE – ENDE PERLAJANGEN”

Hendra Ginting merilis sebuah album yang berisi delapan lagu. Ia adalah musisi dari Bali yang keturunan Batak, dan telah menetap di Bali selama tujuh tahun. Ia juga bassist dari band Kanekuro, dan juga vocalist dari Benten+62. Hendra Ginting memulai debut solonya di tahun ini (2024) dengan album yang berjudul “Ende-ende Perlajangen” yang telah dirilis di semua digital platform, pada 14 Juni 2024.

Kalau bisa dibilang ini adalah album kompilasi dari lagu-lagu yang udah Ginting buat, semacam ada tiga bagian element didalamnya, atau bisa dibilang adalah perjalanan dan perkembangan musik yang dia alami dari tahun 2020 hingga 2024 (sekarang). Lima lagu diantarnya memakai bahasa daerahnya yaitu Karo dari sumatera utara, dan tiga sisanya berbahasa Indonesia yang jauh dari karakter lirik yang biasanya dia buat. “Ende-ende Perlajangen” artinya adalah nyanyi-nyanyian perantau, meskipun lagunya bukan tentang kehidupan rantau tetapi lebih ke luapan perasaan atau pengalaman yang dialami selama merantau, dan di Masa-masa beratnya merantau inilah lagu tersebut tercipta.

Kenapa ia memilih bahasa Karo menjadi bagian liriknya adalah karena di tahun 2020-2024 tersebut, ia menjadi sangat dekat dengan lagu-lagu Karo seperti Diding Musuh Suka yang dinyanyikan oleh Murni Surbakti, Mahdalena yang dinyanyikan oleh Jusup Sitepu, Tuala Toge-Toge yang dinyanyikan oleh Fitra Chord Barus,  dan banyak lagi. Hendra Ginting juga ingin album ini menjadi pemicu untuk anak-anak muda di daerah Karo untuk mulai berkarya di luar pakem apa yang semestinya mereka tahu tentang musik daerah karo, dan berharap menjadi lebih liar dalam berkarya, khususnya membuat karya musik, karena bahasa adalah salah satu alat yang bisa mendekatkan manusia.

Lagu pertama dan kedua, dibuat pada tahun 2024, yang dimana lagu ini secara teknis sound dan materi terdengar lebih baik karena bertambahnya pengetahuan Ginting terhadap audio dan teknis rekaman. Secara pesan kedua lagu tersebut sangat berbeda meskipun masih satu kesatuan di dalam bentuk musik shoegaze. Lagu pertama yang berjudul “La Teriluhi” yang artinya “Tidak Menangisi” dibuat dengan musik yang up beat dan terdengar bahagia, meskipun liriknya tentang patah hati tetapi Ginting menyelipkan unsur-unsur atau kalimat lucu dalam liriknya, karena ingin memberi pesan bahwa sebaiknya kita harus realistis dalam hidup yang tak melulu tentang cinta. Sedangkan dalam lagu kedua “Perdalanen” yang artinya “Perjalanan” adalah lagu yang slow beat dan terdengar lebih murung karena lirik di dalamnya menceritakan tentang kesadaran hidup yang telah jauh ia jalani dan bagaimana rindu yang membuat kita lebih sayang dan perhatian terhadap seseorang dan membuat kita lebih kuat untuk bertahan.

Lagu ketiga hingga ke lima, dibuat pada tahun 2022-2023 secara audio dan teknis lagu-lagu pada track ketiga hingga ke lima mungkin terderdengar lebih berantakan secara teknis rekaman dan mixing, karena keterbatasan alat dan pengetahuan tentang audio dan mixing. Secara genre ketiga lagu tersebut mengambil nuansa punk, tetapi sound musiknya menggunakan sound shoegaze.

Lagu ketiga yang berjudul “Sinikken” sangat bernuansa punk dengan sound shoegaze/indie pop. Secara lirik yang artinya “Diamkan” lagu ini memberi pesan bahwa, jangan mendengarkan orang yang mencibirmu, lebih baik diam dan balas dengan senyuman, lebih baik memikirkan hal yang bahagia daripada memikirkan omongan orang yang mencibirmu.
Lagu keempat yang berjudul “Dalani Saja” terdengar mengusung shoegaze/indie pop. Liriknya yang berarti “Jalanin Aja” ingin mengingatkan bahwa untuk menjalani hidup tidak usah terlalu terburu-buru semua akan berjalan dengan baik dan lancar selama kita percaya.

Lagu kelima yang berjudul “Lanai Pudun” terdengar lebih kalem daripada dua lagu sebelumnya tetapi tetap dengan nuansa shoegaze/indie pop. Liriknya yang berarti “Sudah Tidak Sejalan” adalah lagu cinta yang sudah tidak bisa bersama lagi karena perbedaa perbedaan yang ada, tetapi tetap berteman dengan baik dan berkomunikasi dengan baik.

Pada tiga lagu terakhir yang menggunakan lirik berbahasa Indonesia mengusung genre dark wave/noise wave, yang diciptakan pada tahun 2020, dan sudah pernah di rilis pada tahun 2021 di online streaming Bandcamp dengan nama panggung The Proponial. Tiga lagu terakhir tersebut tercipta setelah kejadian demo mahasiswa Udayana Bali yang memperotes tentang Omnisbus Law, dari hal tersebutlah tercipa lagu “Kendalikan”, “Sendiri dalam Ruang Gelap”, dan “Kematian”.

Sesuai judul lagunya “Kendalikan” lagu ini ingin memberikan pesan bahwa bahwa semua hal jika kita bisa mengendalikan dengan baik maka akan berjalan dengan baik juga, dan ketika sudah terkendali tetaplah berada pada kendali.

Lagu “Sendiri dalam Ruang Gelap” menceritakan tentang bagaimana sebuah kesepian akan membuat hidup lebih kelam, tetapi di sisi yang berbeda kesendirian dalam ruang gelap juga adalah hal yang menenangkan bagi sebagian orang.

Pada track terakhir “Kematian” bukan menceritakan tentang bagaimana kematian yang sesungguhnya atau kehidupan setelah kematian, Dalam lagu ini ingin memberikan pesan bahwa hiduplah dengan baik, dan berbuat baik, karena mati atau sebuah kehidupan tidak ada yang tau bagaimana akhirnya, dan kita manusia selalu menakukan tentang sebuah kematian tetapi tidak pernah menakutkan sebuah perilaku kejahatan yang kita perbuat.