Sebelum mulai ke tajuk utamanya, mari kilas balik dalam rentang waktu dua tahun ke belakang.
Bagi The Jansen, rentang waktu tersebut bisa dibilang sebagai sebuah perwujudan mimpi masa semaja yang manis.
Pasca rilisnya album penuh ketiga Banal Semakin Binal di bulan April 2022, ragam momen mereka lalui sebagai sebuah unit musik.
Lagu-lagu yang jauh berkelana ke telinga-telinga pendengarnya, titik-titik panggung yang tidak terhitung, hingga rangkaian tur lintas kota lintas provinsi lintas negara menjadi highlightnya. Tak selalu manis, karena dinamika kehidupan pun dilewati.
Sekarang, mari ke masa mendatang.
Dua tahun berselang, duo Cinta Rama ‘Tata’ Bani Satria dan Adji Pamungkas siap untuk melanjutkan kisahnya, melepaskan atribut Banal Semakin Binal, dan memulai penggarapan rekaman album penuh keempat, Durja Bersahaja.
Album tersebut rilis terlebih dahulu melalui laman Bandcamp, total 12 lagu dihadirkan dalam album Durja Bersahaja.
Jika merasa bahwa lagu-lagu di dalam album sebelumnya terlalu panjang, maka jangan kaget jika kali ini The Jansen menyuguhkan judul yang jauh lebih panjang.
Sebut saja “Katanya Sudah Tak Lagi Membenci, Lantas Mengapa Masih Memaki?”, “Keberuntungan Memang Tak Semua Kita Punya”, “Dan Aku Pun Mengharapkan Masa Depanku, Menjadi Apa yang Ku Mau”, hingga “Hanya Ada Kegelapan yang Menunggumu Di sana” yang menjadi focus track dari album.
Menengok lebih dalam, album Durja Bersahaja hadir dengan eksplorasi yang cukup jelas, yakni sensasi karakter sound ‘ngawang’ memenuhi layer dimensi kepala serta vokal yang sengaja ditaruh sejajar dengan musik, tempo-tempo yang lebih kencang, namun masih mengedepankan penulisan lirik dengan kosakata bahasa Indonesia yang sederhana dan tentu, pakem punk tiga kunci khas The Jansen.
Demi memunculkan bebunyian ‘busuk’ nan vintage yang diharapkan, mereka memaksimalkan instrumen-instrumen serta alat-alat lawas yang dipunya, termasuk penggunaan ampli fernandes untuk proses mastering yang output-nya dirasa lo-fi hingga rekaman gitar yang sebagian besar hanya ditodong ke ampli kamar.
“Karakter sound menjadi eksplorasi yang dilakukan di album ini. Makanya ketika diberikan kesempatan untuk mengejar objektif tersebut, kami mencoba menggunakan alat-alat yang dipunya sendiri serta digarap bukan di studio, melainkan di sebuah kontrakan yang kami sewa per-tahun demi mendapatkan momen ‘raw’ yang masih berada di dalam koridor garage punk,” kata Adji.
Jika mengamati unggahan Instagram Stories para personel dalam beberapa waktu ke belakang, mungkin bisa tergambarkan suasana kontrakan yang dimaksud oleh Adji. Letaknya terbilang mepet di perbatasan antara kota dan kabupaten Bogor, dikelilingi oleh lalu lalang truk serta tidak stabilnya cuaca khas Kota Hujan yang suaranya tembus masuk ke dalam rekaman.
Penggarapannya sendiri melibatkan Ando Loekito (Cotswolds) yang berperan sebagai sound engineer serta bertanggung jawab untuk urusan mixing & mastering, sementara itu tiga nama yang sudah tidak asing lagi di panggung The Jansen, yakni Raissa Faranda (gitar), Intan descenika (gitar), dan Dika May Fauzi (drum), turut terlibat dalam proses rekaman.
“Secara produksi, album ini hampir sama dengan Banal Semakin Binal. Rekamannya semi track, yang di mana basic-nya semua instrumen direkam secara berbarengan. Namun kali ini tidak ada metronome yang digunakan,” ucap Adji.
Itu jika bicara mengenai teknis perekaman dan juga karakter sound. Soal muatan lirik, The Jansen sepakat bahwa album Durja Bersahaja menjadi kontradiksi dari album sebelumnya. Lirik tidak lagi depresif, bergantian dengan musiknya yang mengambil peran tersebut.
Tema besarnya pun berputar di ingatan, mimpi, serta harapan.
Selaras dengan tema, adalah alasan utama mengapa The Jansen mengajak Bharata Danu (Asylum Uniform) untuk menggarap sampul album. Gaya sang ilustrator yang lekat dengan new romantic menjadi penegasannya, dirasa cocok dengan keseluruhan materi yang dinyanyikan.
Album penuh keempat The Jansen, Durja Bersahaja rilis terlebih dahulu melalui laman bandcamp pada tanggal 28 Juni 2024, disusul oleh rilisan fisik berformat kaset pita setelahnya, sebuah metode yang selalu dilakukan oleh mereka dalam rilisan-rilisannya.
Atas cerita-cerita tersebut, rasanya pantang untuk melewatkan “Durja Bersahaja”.